Pages

Saturday 16 March 2013


TRAUMA 2


Pendiam dan keras kepala, itulah aku. Sifat ini belakangan kuketahui setelah aku punya sebuah gitar, pemberian dari pemuda yang malang itu. Seperti pada kesempatan ini, Ayah berceramah lagi.

“Anak Haji Ramli, begitu pulang dari Mesir, dia hafal Al-Qur’an! Dia menjadi seorang ustad yang akan berguna bagi semua orang. Hebat kan?”

Adikku yang sedang makan dengan lahapnya, menjawab dengan mengangguk-angguk. Adikku yang nakal, rajin makan, ternyata ia adalah anak yang penurut. Mengapa bisa begitu? Barangkali adikku terpengaruh hasutan ayahku. Kata ayahku, di pondok pesantren nanti, lauknya enak-enak: seperti daging. Mendengar itu, berbinarlah mata adikku. Tapi aku kenal betul bagaimana ayahku. Beliau akan melakukan segala cara agar anak-anaknya mengikuti apa yang dimintanya. Seperti janji-janji buah semangka dulu, aku sakit hati dibuatnya. Aku lebih baik diam. Lebih baik begitu.

Kembali membincangkan gitar. Sebenarnya aku bisa menggunakan gitar itu tak lepas dari perjuangan berhari-hari mendandaninya. Keadaan gitar sebelum kudandani sebetulnya sulit kulukiskan dengan kata-kata. Kejadian yang lalu saat pemuda menyeruduk tembok rumah warga, berhasil didramatisir oleh warga. Konon saking hebatnya insiden itu, jari kelingking pemuda itu nyaris lepas. Bahkan ada pula yang berkisah, konon jenggot pemuda itu sampai tertinggal di tembok rumah warga lantaran betapa dahsyatnya benturan itu. Manusia saja bisa begitu keadaannya, apalagi sebuah gitar yang terbuat dari kayu.

Setelah mendengarkan pengakuan warga tentang menyedihkannya kondisi pemuda yang dilarikan ke puskesmas itu, sebenarnya jika gitar ini adalah makhluk hidup, gitar inilah yang lebih menderita. Jika gitar tersebut ibarat manusia, kuping manusia itu telah lenyap karena pasak stem gitar itu telah copot. Perutnya telah robek karena tabung resonansinya tak keruan bentuknya: tripleks yang merekatkan antara body gitar bagian depan dan belakang telah terombak. Sedangkan body depannya, di bagian tengah, bekas patahannya telah hilang. Akibatnya jika mengencangkan senar dengan memutar-mutar pasak stem terus-menerus, lama-lama gitar itu akan membentuk huruf "L".

Berhari-hari aku mencari bantuan kepada tukang-tukang kayu sahabat ayahku untuk memperbaikinya, semakin pula aku nyaris putus asa lantaran tak satu pun mereka ada yang menyanggupi. Katanya kondisi gitar itu terlampau parah, bahkan dewa gitar pun tak sanggup melakukannya. Tapi bagaimanapun keadaannya, aku percaya bahwa gitar ini adalah bentuk pencapaian mimpi-mimpiku yang telah dikabulkan oleh Tuhan. Aku tak boleh menyerah begitu saja. Nikmat Tuhan yang mana lagi untuk didustakan?

Tiga buah lem perekat murahan yang telah tandas adalah bentuk upaya kepedulianku terhadap gitar itu. Semua bagian yang terombak dan patah telah dilumuri secara adil sama rata dengan lem itu. Sekarang bagian tersulit adalah bagaimana cara mengakali agar saat mengencangkan senar nanti, gitar itu tidak melengkung membentuk huruf "L". Tak ada tripleks, papan-papan berukuran kecil pun kurekatkan di kedua ujung badan gitar yang terpisah. Sebab rongga pada tabung gitar itu semakin banyak karena papan-papan yang kurekatkan lebih kecil ukurannya ketimbang serpihan badan gitar yang hilang, serta tegangan senar yang dipasang kendor, akibatnya kualitas bunyi yang dihasilkan jauh sekali dari yang kuharapkan. Meski demikian, aku bahagia. Sebelum tidur, aku pamit dulu padanya dengan mengelus-elusnya. Bangun tidur nanti, gitar itu akan tersenyum sambari tersandar di sudut sana lalu berkata, "Selamat pagi, Tuan!"

Beberapa bulan kemudian, kami semua lulus dari sekolah itu. Teman-temanku semuanya mendaftar ke SMP setempat. Sementara aku, sepekan sudah terbujur kaku seperti mayat hidup. Penyakit aneh telah mengambil alih hidupku. Seperti yang kawan ketahui bahwa aku membenci segala yang berbau dengan rumah sakit. Aku yang sedang sakit, kemungkinan jika ayahku tahu, kisah lama akan terulang kembali. Padahal aku berharap semoga saja itu terakhir kali aku berurusan dengan yang namanya rumah sa-kit. Namun pengalaman 6 tahun silam rasa-rasanya datang kembali. Memang di desa tak ada rumah sakit. Tapi tak jauh dari rumahku, terdapat puskesmas. Bagi orang desa, puskesmas adalah rumah sakit.

Awalnya penyakit itu biasa-biasa saja dan tidak terlalu buas. Aku sering mengidap pusing-pusing ringan menjelang siang dan pulih kembali esok pagi. Begitu terus menerus sampai aku bingung dengan keadaanku yang demikian aneh itu. Penyakit ini sudah berlangsung beberapa hari namun kurahasiakan pada Ayah dan Ibu dengan pura-pura tegar di hadapan mereka.

Penyakit itu lama-kelamaan menampakkan maksud yang sebenarnya. Pulang dari sekolah, selepas mengambil ijazah, tiba-tiba kepalaku serasa ditumpuki beban berton-ton disertai pandangan yang bergetar-getar seperti sedang menyaksikan televisi hitam putih yang tak menangkap siaran. Kususuri sungai sambil sesekali membasuh wajahku agar merasa segar. Ganjil sekali rasanya, biasanya aku melewati jalan raya meskipun terik matahari membakar tengkuk, namun penyakit ini tak bisa diajak kompromi. Bisa jadi karena panas, aku akan pingsan di tengah jalan. Kisah kuburan meledak yang dulu sempat membuat pelayat kocar-kacir, terbuang jauh-jauh dari ingatanku, dan sebentar lagi kuburan itu akan kulewati. Kuburan itu adalah jalan pintas menuju rumahku jika ingin terbebas dari sengatan matahari.

Sampai rumah, aku langsung tergeletak di teras dengan seragam sekolah dan tas punggung masih melekat di badanku. Seluruh bagian tubuhku rasanya sudah hilang, rasanya hanya ada kepalaku yang tersisa karena penyakit itu bersarang di sana. Berkali-kali Ibu membangunkanku untuk makan siang, aku mendengarnya, namun aku hanya mengangguk-angguk. Mendengar nada Ibu yang semakin serius karena merasa asing melihatku tergeletak di teras, aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk bangkit agar aku terlihat tegar. Begitu bangkit, entah dari mana datangnya batu-batu serasa berdesak-desakan di dalam kepalaku, berat sekali. Perutku mual, muntah di teras, aku kembali layu.

Sejak itu penyakitku mendapat penanganan yang serius dari ayahku. “Dasar keras kepala!” katanya. Mendengarnya mendampratku demikian, aku menguatkan diri untuk bangkit. “Aku tidak apa-apa!” jawabku. Namun pembelaanku sia-sia. Aku diseretnya ke rumah seorang mantri suntik. Tamatlah aku.

Bukankah ayahku pernah bilang, mantri suntik itu buruk reputasinya ketika ia kuliah dulu? Bertahun-tahun kuliahnya karena ia bodoh. Lega rasanya karena tak dibawa ke puskesmas, kini aku tegang kalau-kalau mantri itu salah sangka terhadap penyakitku. Mantri itu sebenarnya berteman baik dengan ayahku. Sering ia ke rumahku, sering aku menguping perbincangannya. Misalnya salah satunya begini.

“Ini sedikit kisah konyol!” katanya dengan mata berbinar-binar. Ia berkisah bahwa tempo hari seorang petani mengetuk pintu rumahnya sambil menggigil kedinginan di dalam sarungnya. Si petani mengadu bahwa gara-gara penyakit yang dideritanya, membuatnya absen menggarap sawahnya selama dua hari.

“Pak, sudah tiga hari ini saya panas dingin!”

Ia minta disuntik karena konon jika disuntik mantri itu, ia cepat sembuh. Ia seorang pelanggan tetap di sana. Inilah paham yang dianut oleh sebagian warga di desa itu. Jika merasa cocok dengan mantri suntik yang satu, sampai sepuh pun ia akan mengabdi kepada mantri suntik itu. Padahal obat mantri suntik di mana-mana selalu sama. Jika  sakit kepala, tak mungkin akan diberikan obat sakit hati atau obat sakit jiwa.

“Aduh! Kebetulan cairan suntikannya sudah habis, Pak! Bagaimana kalau saya berikan obat saja?” tawarannya serius.


“Saya pasti langsung sembuh jika bapak yang menyuntik saya!”

Karena sugesti si petani yang begitu kuat, si mantri pun mengisi suntikannya dengan air mineral tanpa sepengetahuan si petani. Tentu ketika melihat alat suntik itu sudah berisi cairan, mata si petani berkaca-kaca lantaran bahagia.

Seeeerrrr.... Air mineral itu dibelesakkan ke dalam bokongnya.

“Tak usah dibayar!”

“Terima kasih, Pak!”

Keesokan harinya, keduanya bertemu di jalan raya. Sambil berlari mengusung cangkulnya, si petani berseru, “Pak! Saya sudah sembuh! Terima kasih!”

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah: pertama, suatu penyakit akan sembuh jika kita memiliki sugesti yang kuat untuk sembuh. Kedua, jika berbakat jadi tabib, jangan sampai jadi mantri suntik! Itu sebabnya banyak kasus dokter salah mendiagnosa suatu penyakit yang diderita orang.

Aku pasrah. Wajahku mendadak pias setelah mendengarkan pengakuan mantri suntik bahwa aku terkena penyakit malaria. Kali ini aku rela disuntik asal jangan sampai masuk ke rumah sakit untuk kedua kalinya. Seerrr! Cairan suntik itu melesat seketika. Aku berkeringat dingin.

“Istirahatlah agar seminggu ini bisa sembuh! Minggu depan kita berangkat ke Narmada, mendaftar di pesan-tren!”

Kuserahkan semuanya berjalan atas kehendak Tuhan saja walau sebenarnya jauh di dalam hatiku, aku ingin sakit berlama-lama agar aku didaftarkan di SMP terdekat. Perkembangan kesehatanku beberapa hari ke depan adalah penentu apakah aku akan menjadi seorang murid SMP atau menjadi santri di Pondok Pesantren. Aku tidak ingin berpisah lagi dengan teman-teman yang aku cintai, juga dengan gitar pertamaku itu. Hidup memang penuh dengan sesuatu yang kita cintai, namun sesuatu yang kita cintai itu malah menjauhi kita. Sesungguhnya di sanalah letak ujian Tuhan yang paling berat.

Ajaibnya waktu, keadaanku semakin membaik walaupun sebetulnya aku masih merasa sakit. Ajaibnya waktu juga, mengapa ia selalu tak memihak di saat aku akan berpisah dengan teman-teman yang aku sayangi? Seperti dulu, sekarang pun berlaku. Akses menuju rumah teman-temanku sangat sulit. Mustahil bertemu mereka di saat-saat tak terduga seperti ini. Aku akan meninggalkan mereka karena sebentar lagi aku akan menjadi santri di pondok pesantren. Aku menitip kata-kata rindu untuk mereka melalui adikku. Ajaibnya juga, ayahku selalu punya partner dalam berbuat kriminal. Keadaanku yang masih belum sehat jiwa dan raga itu, perlulah Pak Muntaha ambil bagian dalam kasus ini. Ia menaikkanku ke sadel motor dan memelukku erat-erat di belakang. Sementara ayahku menancapkan gas sepeda motor itu tanpa sedikit pun belas kasihan kepadaku. Sepeda motor itu meraung-raung tak peduli. Sejak itu aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabar teman-temanku selama 6 tahun ke depan.[]

1 comment: