Pages

Saturday 14 September 2013

Si Bungsu

Setelah aku pikir-pikir, mungkin alangkah baiknya kuhabiskan hari-hariku hanya untuk membaca, dan bacaan yang tepat untuk mengisi waktu luang ini adalah membaca novel, inilah yang terbaik menurutku saat itu. Hingga pada suatu ketika salah satu temanku mengenalkanku dengan salah satu novel berwarna merah serta dilengkapi dengan warna hitam sedikit di sampingnya dan dihiasi gambar sepuluh anak-anak menunjuk sebuah pelangi, di bagian tengah sampul novel itu tertulis “ LASKAR PELANGI “.
            Aku heran melihat diriku, di saat genting seperti ini aku malah berleha-leha, padahal sekitar satu bulan lagi kami akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Menurut sebagian kakak-kakak kelas yang pernah juga mengalami Ujian ini, mereka bercerita kepada kami secara berlebihan. “ hati-hati dengan ujian ini, karena ujian ini menentukan masa depan kalian. Jangan sampai kalian tidak lulus, ujian ini sangat ketat dan disiplin,tidak diperbolehkan melirik kiri-kanan, kalau pulpen atau alat tulis lainnya jatuh disaat ujian sedang berlangsung, tidak boleh mengambilnya sendiri, harus ketuk meja, acungkan tangan dan pengawas akan mengambilkannya lalu memberinya kembali kepada peserta ujian “. Konsekuensinya adalah, belajar dengan serius dan lebih giat dari sebelumnya.
            Bukan aku saja yang heran melihat diriku, namun masih banyak lagi temanku yang lebih heran. Bayangkan saja, di saat kami diwajibkan membawa buku pelajaran yang diujikan saat Ujian nanti, aku malah dengan bangga memamerkan Novel karya Andrea Hirata itu.
            Selain belajar lebih giat dan tekun, wali kelas meminta kami mengimbangkan antara belajar dan spiritualitas. Apalagi sehabis shalat maghrib, kami diwajibkan membaca surat yaasin di dalam kelas. Itu dilakukan secara rutin sampai Ujian tiba. Saking rutinnya, wajar bila beberapa temanku hapal dengan lancar surat yaasin dari awal sampai akhir.
“ Belajar tanpa do’a sombong, dan berdo’a tanpa belajar bohong “. Inilah Wejangan wali kelas kami,-Ustad Susilahuddin.
Jika ditanya siapa yang paling sering alpa membaca yaasin setelah magrib....? tidak lain dan tidak bukan, itulah aku, pembual brengsek, perusuh kelas kakap.
Aku sering menyendiri mencari ketenangan untuk menamatkan novel itu. Novel itu tidak bisa dibaca di tengah-tengah keramaian, karena menghilangkan kekhusu’an.
Aku sama sekali tidak pernah menyentuh buku lain saat itu. Aku sudah punya komitmen, “ tidak boleh menyentuh buku lain, sebelum Laskar Pelangi ini tuntas ”. bahkan kutulis dengan menggunakan tinta pink dan kutempel di pintu lemari. Dan hasilnya, ; aku ketahuan pengurus kamar dan mendapatkan sedikit cubitan dari rotan, dan pahaku merah.
            Sungguh, saat itu niat belajarku entah kemana. Penyakit malas menghampiriku di saat situasi sedang genting seperti ini. Kalau aku terus seperti ini, akankah aku bisa lulus....???. nanti aku ceritakan.

Kawan.....!!! di sinalah kisah itu kuawali, kisah seru nan menantang sekaligus penuh dengan cahaya-cahaya baru yang melengkapi hidupku,hidupnya dan hidup kami bertiga.
Sebelum kulanjutkan kisah pengalamanku dengan dua bocah jenius ini, maka ijinkan aku bercerita sedikit tentang mereka pada kalian, karena suatu saat nanti jika kalian membutuhkan mereka, kalian akan dengan ikhlas dibantu tanpa pamrih apalagi kalau masalah asmara,,mereka jagonya tanpa diragukan lagi mereka sangat lihai dalam menyelasikan kasus sepele seperti ini, meskipun mereka tidak pernah merasakan apa itu                 “ ASMARA “.
Saudara-saudaraku seiman, simaklah awal pertemuanku dengan mereka...
            Hari itu adalah hari kedatangan santri baru, tepatnya tanggal 25 juli 2005. Aku diantar dengan dua mobil, semua keluargaku dari kakek, nenek, paman, bibi, sepupu-sepuku semuanya ikut mengantar, tapi aku merasa ada salah satu yang tidak ikut sebagai pelengkap, yaitu ; Kakakku sendiri. Dia tidak ikut karena harus menjaga rumah. Sebenarnya aku sangat sedih, tapi harus bagaimana lagi itulah keputusan ayah.

            Di dalam mobil aku hanya termenung, sesekali ayah memandangku,tapi aku hanya bisa menunduk. Nenek juga membelai rambutku dari samping, aku berusaha menahan air mata dengan cara tidak mengeluarkan sepatah katapun. Tapi, malah neneklah yang lebih dulu mengeluarkan air mata. Aku tidak bisa melihat nenek menangis, aku juga ikut menangis sambil memeluk nenek. Ibu, bapak, dan keluargaku yang lain yang ikut mengantar juga merasakan apa yang kurasakan saat itu. Mungkin  Mereka juga memikirkan bagaimana aku menjalankan hari-hariku nanti di pesantren. harus nyuci sendiri dan harus hidup mandiri.
            Sepengetahuanku kakak juga sangat ingin mengantarku sekaligus melepas kepergianku untuk waktu yang cukup lama. Karena, semalam sebelum aku berangkat, aku dan kakak berbicara empat mata di beranda rumah mengenai kepergianku. Dia kelihatan sedih, tidak seperti biasanya. Dia yang selalu menghiburku,  dia yang rela dimarah demi aku ketika ada masalah antara kami, dia yang sering bercerita sebelum tidur, dia yang selalu ceria. Tapi malam itu, semuanya sirna. Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang gemintang di angkasa, lalu mengalihkan pandangan kearahku seraya berkata; 
“mudah-mudahan ayah mengijinkanku untuk ikut mengantarmu besok “.
Setelah mengeluarkan kata menyedihkan itu, dia langsung masuk kedalam rumah.
            Keesokan harinya ketika ibu sudah menyiapkan semua perlengkapanku, ayah datang bersama keluargaku lainnya dengan menggunakan mobil sewa dari pak Mustajab. Kakakku adalah tipe orang yang pendiam. tapi bukan terlalu pendiam, jika sedang berada ditengah teman-temannya. Selain itu dia juga anak yang penurut sangat beda dengan aku yang banyak omong dan selalu mempunyai banyak keinginan, ini-itu macamlah pokoknya. Apalagi kalau keinginanku tidak dipenuhi ibu atau ayah, aku dengan mudah melangkahkan kakiku ke mana  saja dan berhari-hari tidak pulang, ayah panik, semua pengeras suara masjid dan mushola memanggil namaku. Tapi, ayah tidak tahu ketika semua pengeras suara memanggil namaku ,aku sedang berada tidak jauh dari rumah. Hanya saja aku berdiam merenung dan sesekali menggerutu.
            Edy, itulah nama kakakku. Nama yang diberikan ayah untuknya. Nama lengkapnya adalah Rosy Edy Tamala, hanya bebeda dua tahun denganku, dan tanggal lahir kami pun hanya berbeda satu hari. Namanya berakhiran tamala, namaku pun juga demikian. Kami tidak tahu apa tujuan ayah memberikan nama akhiran itu buat kami, apa iya dulu semasa ayah masih muda ayah sangat gemar dengan penampilan indah penyanyi dangdut yang bernama Evy Tamala itu....? E ntahlah, hanya ayah dan ibu yang tahu tentang persoalan nama ini.
            Sejujurnya, aku dari dulu ingin sekali menanyakan identitas nama kami yang berakhiran nama seorang pendangdut ternama yang dimiliki Republik ini, “ Aaaaahhh...!!!! sudahlah nikmati saja, ini pasti ada maksud dan tujuan ayah “. Sungguh pendapat yang sangat tidak memuaskan dari mulut si sulung itu membuatku geram.

*****
            Ayah mencium keningku, ibu membelai dan menghapus air mataku, nenek terisak di belakangku dan keluarga yang lain serta merta membuka dompet masing-masing sembari mengulurkan tangan kepadaku dan jelaslah bahwa mereka mempunyai niat mulia untuk memberiku tambahan uang saku untuk menghadapi adaptasi baru ini.
Semua syarat pendaftaran ulang sudah selesai, mulai dari pengambilan lemari, pembayaran uang administrasi dan penentuan asrama sudah selesai, kini tinggal melepas kepergian ayah, ibu, dan semua yang ikut mengantarku. Sungguh aku berat sekali untuk berpisah dengan ibu, meskipun detik-detik aku meninggalkan rumah kemarin, ibu selalu memarahiku karena aku sering pulang terlalu larut dan aku acu-tak acuh menanggapinya, wajar saja jika ibu melemparku dengan centong beras.
Tapi sekarang, aku benar-benar menyesali semua itu. Aku ingin meminta maaf kepada ibu tapi sudah terlambat. Mereka semua suda meninggalkanku sendiri berdiri di bawah sebuah plang ; “WELCOME TO NURUL HARAMAIN ISLAMIC BOARDING SCHOOL”.
            Aku tetap berdiri sambil memandangi kendaraan mereka  yang  semakin jauh meninggalkanku, tapi dari kejauhan aku melihat ibu tetap menghadap kebelakang tepat kearah di mana aku berdiri. Tampak jelas sekali bahwa ibu sedang memperhatikanku. Aku refleks, aku melambaikan tangan kananku sementara itu tangan kiri menghapus air mata yang mengalir.
Lima belas menit kuberdiri di bawah pelang itu, tanpa kusadari,Kini kendaraan yang tadi mengantarku sudah tidak tampak lagi dan hanya meninggalkan rasa sedih serta sedikit  polusi dari knalpotnya, sama sekali sudah hilang dari pandanganku. Mereka sudah meninggalkanku, mereka sudah pulang.
Sungguh, ini adalah yang pertama kalinya aku berpisah jauh dengan keluarga, terlebih lagi kepada kedua orang tuaku dan kakakku. Namun aku harus tabah dan harus bersabar karena mungkin ini adalah pilihan orangtuaku yang terbaik untuk menghilangkan sifat bandelku.
Aku berdiri sendiri di bawah plang pesantren di gerbang paling depan sambil mengeluarkan isak tangis. Tiba-tiba pandannganku tertuju kepadada seorang anak yang membawa dua tas, satu tas di belakang punggungnya dan satuan lagi di tangan sebelah kanan. Anak itu sendiri tidak ada yang menemaninya, aku yakin bahwa dia juga salah satu santri baru yang akan tinggal sepertiku.
            Dia kelihatan letih, kupandangi berkai-kali raut wajahnya yang sudah bermandikan keringat, namun tampak jelas kulihat sedikit tergores setitik senyuman ketika memandang salah satu kertas yang dipegangnya. Kuhapus airmataku, kubuang jauh-jauh raut sedih yang ada diwajahku, lalu aku dengan penuh percaya diri menghampirinya, dan mengeluarkan sedikit sapaan untuknya.
“ Assalamu’alaikum.....” 


Tips Menulis

Salah satu pertanyaan dari para profesional yang paling sering mampir ke saya adalah yang seperti ini: Bagaimana sih cara menulis buku yang mudah itu? Memang, saya termasuk salah satu penulis yang paling demen memprovokasi kalangan tersebut supaya menulis buku. Bukan cuma menulis buku biasa, tapi menulis buku bestseller, lho! Sekalipun itu baru pengalaman menulis buku yang pertama, saya tetap menegaskan, “Beranilah bermimpi menjadi penulis buku bestseller!”
Sementara lupakan saja soal definisi bestseller. Yang penting, cita-citakan dulu buku kita akan laris di pasaran, lalu beranikan mental, niatkan segera, dan mulai sekarang juga dengan menulis apa pun yang menggoda kita untuk menulis. Sengaja saya dorong-dorong supaya para profesional itu berani menggagas buku bestseller. Mengapa? Ya, supaya semangatlah menulisnya. Kalau menulis tanpa semangat, jangan harap ada roh semangat pula dalam karya kita. Kalau hasil tulisan tidak memiliki roh atau gereget tertentu, mana ada orang yang mau beli dan membacanya, kan?
Balik lagi ke soal bagaimana cara menulis buku yang mudah, saya pun berani menyatakan bahwa menulis buku bestseller itu mudah. Sampai-sampai saya bersama Andrias Harefa (penulis 30 buku laris) mengadakan workshop berjudul “Cara Gampang Menulis Buku Bestseller”, yang pada Agustus 2008 nanti memasuki Angkatan Ke-5. Nah, bagaimana kesan para peserta workshop tersebut? Umumnya mereka sadar dan menjadi yakin, ternyata menulis buku bestseller itu memang mudah. Bagaimana itu? Saya akan kupas beberapa di antaranya dalam artikel ini.
Pertama, kalau mau menulis buku bestseller, cobalah yakin sejak awal bahwa kita semua berpeluang dan mampu melakukan hal tersebut. Penulis senior atau bahkan penulis pemula sekalipun, semuanya punya peluang yang sama untuk menggebrak pasar. Kalau sudah punya keyakinan, cobalah terus memeliharanya, lalu tambahkan dengan semangat yang sungguh-sungguh dialirkan dalam setiap langkah penulisan nantinya.
Kedua, miliki perspektif menulis buku itu mudah, yaitu sekadar aktivitas merangkai huruf, kata, kalimat, paragraf, dan tulisan. Caranya, pandanglah buku itu hanya sebagai kumpulan bab atau tulisan pendek. Sementara, bab atau tulisan pendek itu sendiri hanyalah kumpulan dari paragraf (alinea), paragraf itu sendiri hanya kumpulan dari beberapa kalimat, kalimat hanya kumpulan dari beberapa kata, dan kata hanyalah kumpulan dari beberapa huruf.
Jadi, kalau kita bisa merangkai huruf menjadi kata, merangkai kata-kata menjadi kalimat, kemudian membuat kalimat-kalimat tersebut menjadi paragraf, lalu bisa merangkai sejumlah paragraf menjadi sebuah tulisan, dan terakhir menulis beberapa artikel atau tulisan pendek, ya jadilah buku itu. Sesederhana itulah! Makanya, jangan punya persepsi menulis buku itu sulit.
Ketiga, pilih tema yang pas dengan mempelajari sejarah sekaligus tren tema-tema bukubestseller. Menyangkut sejarah buku bestseller, pasti akan kita temukan tema-temabetseller yang bisa berulang. Sementara soal tren, pasti efek tarikan atas buku betselleryang sedang bergaung. Artinya, kalau ada tema buku bestseller sedang moncer di pasaran, tak menutup kemungkinan tema yang sama juga lagi digemari dan dicari. Jadi, ini peluang bagi penulis-penulis lain yang tajam penciumannya atas selera dan tren pasar.
Keempat, setelah berhasil memilih tema, buatlah outline atau kerangka tulisan. Untuk apa? Untuk mempercepat proses penulisan dan menata supaya tulisan tidak melebar ke mana-mana. Outline bisa dibuat berdasarkan cara atau gaya penulisan kita. Ada yang mampu menulis dengan baik kalau didasari oleh outline yang detail, tapi ada yang lebih efektif dengan outline sederhana. Apa pun pilihannya, efektivitas penulisan tetap menjadi pertimbangan utama. Makanya, bagi yang merasa bisa menulis dengan lebih baik dan cepat tanpa outline, ya abaikan saja outline ini.
Kelima, pilih teknik penulisan buku yang paling efektif dan efisien. Maksudnya? Pilih teknik penulisan yang paling cocok buat kita, paling membuat kita bersemangat, paling mudah dilakukan, dan tentu saja efisien secara waktu. Soal teknik ini menjadi krusial sifatnya bila kita sedang mengejar atau mengikuti tren buku tertentu. Contoh, penulisan buku berbasiskan teknik wawancara, teknik menulis cepat, dan teknik kompilasi artikel/tulisan pendek adalah teknik yang paling cocok untuk menyasar tren buku bestseller.
Keenam, kuasai teknik menulis cepat. Teknik ini didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide dasar dan yang paling orisinal harus segera dituliskan supaya tidak menguap. Yang terpenting adalah menuliskan gagasan ketika kita sedang dalam kondisi dibanjiri oleh ide. Soal pengayaan isi dan penyuntingan bisa dilakukan pada tahapan berikutnya. Contoh aplikasi teknik ini adalah; sekali duduk atau menulis, selesailah satu tulisan (artikel) atau bab. Sekali menguasai teknik menulis cepat, masalah penundaan dan kemacetan bisa lebih mudah dihindari atau diatasi.
Ketujuh, alirkan gairah, semangat, visi, dan misi dalam setiap tulisan kita. Salah satu rahasia keberhasilan buku-buku bestseller adalah pada kemampuannya dalam “berbicara” atau menjalin hubungan emosional dengan para pembacanya. Buku yang mengesankan adalah buku yang mampu memengaruhi dan menggerakkan pembacanya dalam beragam cara.
Bagaimana caranya? Ya, selain bisa mengungkapkan pikiran-pikiran atau ide-idenya, penulis harus mampu mentransfer antusiasme, keyakinan, visi-visi, dan kejujurannya kepada pembaca. Kalau sudah begini, tanpa disuruh pun akan ada banyak pembaca yang merekomendasikan buku kita nantinya.
Kedelapan, kuasai teknik pengayaan dan penyuntingan naskah, serta sediakan waktu yang cukup untuk mengolah naskah kita. Naskah yang ditulis dengan cepat biasanya bolong di sana-sini. Pada tahap penyuntingan dan pengayaan inilah kita harus bisa mengerjakan PR kita; mengecek kembali sistematika tulisan, judul bab dan subbab, mengecek ketepatan teori dan pendekatan, kelengkapan data maupun variasi contoh kasus, pengembangan gaya bahasa populer, termasuk soal tata bahasa, dll. Pada tahap ini pula kita berkesempatan untuk meneliti dan merasakan ulang apakah naskah kita sudah cukup “berbicara” kepada calon pembaca nantinya.
Kesembilan, pilih judul yang paling pas. Bila perlu, adakan survei dengan menyodorkan sekurang-kurangnya sepuluh nomine judul. Saya yakin, ada beberapa judul yang benar-benar memiliki efek sugestif kepada para calon pembacanya. Silakan pelajari daftar buku laris versi koran-koran atau majalah, pasti mudah ditemukan judul-judul sejenis itu.
Memang judul bukan faktor yang paling menentukan, tetapi tetap saja, judul yang pas akan menjadi iklan utama bagi sebuah buku. Buku, sama halnya dengan produk lainnya, sekalipun bagus isi/kualitasnya bisa saja tidak dilirik konsumen karena iklan atau judulnya tidak memberikan impresi/kesan kesan yang bagus.
Kesepuluh, bekerjasamalah dengan editor atau penerbit. Setelah berusaha memaksimalkan semua potensi karyanya, setiap penulis harus bekerjasama dengan editor atau penerbit supaya potensi bestseller naskahnya semakin maksimal. Para editor dan penerbit berpengalaman biasanya memiliki data, informasi, atau pengalaman dalam mengolah naskah menjadi buku bestseller. Di sinilah peran mereka dalam men-dandani naskah kita supaya memiliki format, tampilan, atau kemasan yang menjual. Kadang mereka membutuhkan ide-ide orisinal kita, kadang justru kitalah yang harus berkompromi dengan strategi mereka. Semuanya butuh kerjasama demi hasil maksimal dan menguntungkan kedua belah pihak.
Nah, apakah dengan menjalankan langkah-langkah di atas dipastikan bisa menghasilkan buku bestseller? Saya katakan tidak ada jaminan. Kadang berhasil, kadang juga tidak. Masih banyak variabel yang memengaruhi dan menentukan. Tetapi kepada setiap penulis saya selalu katakan, itulah area atau variabel yang bisa kita kontrol dan maksimalkan potensinya. Setelahnya hanyalah hasil interaksi di pasar.
Namun, saya berani pastikan, menulis buku dengan cara atau strategi seperti di atas sanggup memberikan pengalaman yang sangat menggairahkan. Saya, sejumlah penulis dan penerbit, serta para klien saya, merasakan betul manfaatnya. Selamat menulis buku bestseller![ez]
Sumber: www.pembelajaran.com

Sunday 11 August 2013

Lomba Flash Fiction

Saya ingin membagi THR tapi bentuknya bukan uang. Mau? Gratis novel terbaru saya "Kami & Panggung Mimpi" untuk 15 orang yang beruntung. Caranya mudah. Buatlah Flash Fiction dengan tema "Ramadhan", berisi pengalaman yang sedih atau menyenangkan (minimal 250 kata). Tulisan bisa dikirim dengan tag tulisan (blog, note fb) di wall/twitter @edytamala. Gampang kan? 
Bagi yang belum tahu apa itu 'Flash Fiction', bisa membaca note Maulana Firdaus
THR ini berlaku sampai tanggal 15 September 2013. Hoaaaammmm.. zzzzzzzzz....


Ini Flash Fiction dari Maulana:

apa yang berkesan dari sebuah ramadhan?

duh, petang ini otakku beku, padahal tulisan ini harus menarik, karena sedang dilombakan dalam kompetisi Flash Fiction Ramadhan yang diadakan oleh sahabatku, Rosy Edyta. mana tahu aku bisa juara satu lalu diberi nomer kimcil kesayangannya hahaha..

semilir angin dari kaki Rinjani tengah menghambat peredaran imajinasi dalam kepalaku, akibat seharian terpapar hawa gunung, aku tak bisa merangkai sebuah fiksi indah seperti episode daydreaming kemarin, maka satu-satunya jalan yang dapat kutempuh adalah menuliskan kembali apa yang benar-benar terjadi dalam ramadhan yang sudah-sudah.

* * *

percaya atau tidak, ramadhan punya seribu kisah, layaknya ia merahasiakan seribu berkah dalam malam seribu bulan. jika diuraikan satu-persatu mungkin bisa jadi satu novel sendiri. hei, jangan mulai menghitung jumlah kata dulu! kisahku belum berlangsung!

* * *

Ramadhan lalu, aku jadi seorang ayah!!
well, seingatku waktu itu jam 5.20.. aku menunggangi Mio hitam milik Deno dengan kecepatan gila-gilaan. sebentar lagi buka puasa. konyolnya, mendahulukan berbuka rasanya lebih utama daripada mendahulukan keutuhan nyawa sendiri. berkali-kali speedometer menunjuk angka 90km/jam, kecepatan 'cari mati' untuk ukuran jalan Wonosari menuju Jogja. aku hanya tak cukup peduli.

tiba-tiba aku tersadar, ada seorang gadis kecil tengah berpegangan erat pada punggung bajuku. aku menengok sebentar, tampak ekspresinya memendam ketakutan hahaha. tapi apa boleh buat, perutku keroncongan. pun perut si gadis kecil itu juga pasti menderita akan hal yang sama. maka aku mengacuhkan ekspresi tertekan itu, kami melesat menuju tukang sate madura terdekat.

"Pak, ayam empat" seruku pada penjual sate. bapak itu mengangguk tanda mengerti.

"hehe maaf ya, tadi Mas Daus ngebut" aku berpaling pada gadis kecil yang sedari tadi mengekor langkahku, matanya lebih kuatir dari seorang presiden yang hendak ditembaki sniper. aku tahu, dalam hatinya gadis kecil ini belum sepenuhnya mempercayaiku. ini pertama kali aku mengajaknya 'jalan-jalan' keluar dari asrama. bayangin aja kamu baru kenal seorang cowok terus diajak keluar dan langsung kebut-kebutan dijalan hahaha apa nggak pengen nangis aja bawaannya.

tapi ia hanya mengangguk menanggapi permintaan maafku, aku jadi harus berimprovisasi dengan lusinan basa-basi untuk menjaga agar moodnya tidak drop. tapi nasib berkata lain. saat kuraba saku celanaku, hanya ada selembar lima ribuan disitu. 

"kampret!" pikirku. 

"sejak kapan aku jadi sekere ini?" hahaha rupanya saku celanaku ada yang bolong, jadi sepanjang ngebut tadi tanpa sengaja aku bagi-bagi duit ke orang-orang di pinggir jalan. yasudah, tapi aku pesan sate empat bungkus! itu nggak akan murah!

"eh, ikut mas Daus sebentar yuk, cari Es" duh aku terpaksa mengibul di bulan puasa, semata-mata supaya punya alesan selain "duitnya abis" hahaha hina banget, tapi itu benar-benar kejadian.

maka lagi-lagi aku, si Mio, dan gadis kecilku melesat kearah kota gede. kuparkir ia baik-baik didepan kontrakan, lalu mengobrak-abrik kamarku semata-mata demi menemukan amplop coklat berisi sisa honor asisten praktikumku. ketemu! selembar limapuluh ribuan langsung menjadi last-line-of-defense, harapan terakhirku hahaha yuk, bayar satenya.

aku hampir menarik gas motor untuk ngebut lagi, tapi seseorang yang kukenal lewat didepan kontraan. Mas Yakhob yang kayaknya mau buber di mesjid sekitar komplek.

"Halo Daus, hayuk, takjilan!" ajaknya

"duh, mas aku uda janji mau buka di tempat lain" sahutku.

"hoo, okeh. lah itu siapa?" mas Yakhob menanyakan identitas gadis kecil yang sedari tadi kubawa kesana kemari. aku menoleh kearahnya.

"dek, ada yang ngajak kenalan tuh" kataku padanya. malu-malu ia mengulurkan tangannya kepada mas Yakhob.

"Puji Lestari" hanya itu yang meluncur dari kedua bibirnya.

"Yakhob.. ini adeknya Daus?" tanya mas Yakhob. si gadis kecil bingung, ia berpaling padaku.

"anaknya Yorsi" jawabku sambil tersenyum "satunya uda di tempat emaknya"

"oh" mas Yakhob tampak maklum dan mengerti maksudku. "Yaudah aku berangkat dulu ya"

"Yoo"

dan tahu-tahu aku udah nyampe lagi di tempat jualan sate. dengan bangga kutunjukkan selembar 50ribuan terakhir milikku. dan aku cengar-cengir sendiri ketika kembaliannya nggak seberapa. yaudah, sekarang jam 5.50 lebih, let's just.. BRRRRUUUUUMMMMM!!

udah lewat adzan, dan kami baru sampe. langsung saja si sate tadi menjadi korban keganasan perut-perut lapar kami. hmm aku, Yorsi, dan dua orang gadis kecilku.. dua?

hahaha iya, mereka kembar sial (ups..) maksudnya sama-sama disekolahin Yorsi di ponpes Ibnul Qoyyim. si Puji dan Tumini baru aja mau masuk sekolah, jadi segala kebutuhannya harus disiapin. dan sebelum pada akhirnya masuk sekolah, mereka disempetin dulu untuk kenalan sama orang-orang di organisasi kami, yang ngurusin administrasi sekolah mereka. semacam emak dan bapanya lah gitu, meskipun secara ofisial mereka juga punya emak dan bapak asli, di Merapi sana. Yup, kami istilahnya mengadopsi mereka berdua untuk disekolahin di jogja.

masih malu-malu, mereka berbuka puasa dengan kami. jangankan mau ambil lauk, menatap sepiring nasi dihadapan mereka pun masih ragu-ragu. ini nih beneran makanan gratis apa kudu mbayar? hahaha pokoknya awkward moment banget dah. emang sih ya, kalo urusan makan mungkin cuma aku aja yang bakal langsung maruk mode on meskipun sama orang yang baru aku kenal. makanya salah satu software ramalan yang pernah aku mainin tulisannya "kamu bakal mati diracun orang" hahaha whatever la.

tapi cerita serunya sebenarnya bukan disitu.

pas masak sahur, aku harus jadi seorang ayah yang superhero!! hahaha

jadi hari itu setelah berbuka, kami juga niat sahur bareng anak-anak. jadi sejak jam 2an gitu udah mulai ngeDJ a.k.a cuci piring. dan tugas hina itu diserahkan padaku! well, sebenarnya nggak hina-hina amat sih. cuman kata dokter, kalo sering cuci piring tidak baik untuk pertumbuhan tulang dan gigi hahaha dasar akunya aja yang males. tapi pas akunya lagi sok asik ngeDJ, terjadilah itu..

gatau kenapa Yorsi lagi menggoreng nugget kalo nggak sala, terus tiba-tiba aja se-teflon itu kelahap api.. jadi kayak 'cooking stunt' (semacam akrobat dalam seni memasak) gitu, tau kan, kalo misalnya bikin panggang pisang terus permukaan teflon-nya dikasih sedikit rum ato sebangsa alkohol lainnya maka akan muncul efek api diatas teflonnya selama beberapa detik, konon biar masaknya rata dan rasanya jadi khas gitu, tapi yang ini mah.. minyak di teflonnya kebakar beneran!!

lalala Yorsi ngacir sementara aku bengong, eh bukan, mikir deng hahaha!!

menatap api segede itu aku langsung masuk Scherlock Mode, membayangkan apa yang terjadi seandainya melakukan suatu tindakan. pertama, aku bisa aja ngambil segayung air, tapi itu tidak akan menyelesaikan masalah, karena api segede itu butuh kira-kira seember air untuk dapat memadamkannya. nah, tapi kalo aku ambil air segitu banyak, dua hal yang sama buruk dapat terjadi:

-satu: kompor dibawahnya bakal rusak karena kena air, padahal mana tau besok-besok masih dipake masak. dan lagi yang bermasalah si teflonnya, bukan kompornya.

-dua: karena panas tinggi disertai pendinginan mendadak, sesuatu yang sedang digoreng, apapun itu akan berubah jadi lumpur yang sangat lengket, ujung-ujungnya si teplon bakal nyisain kerak apalah namanya itu..

seperlimapuluh detik, aku berusaha mencari solusi lainnya, keingetlah aku pernah juga bantuin seseorang yang kompornya meledak, waktu itu yang digunakan adalah..

aktivasi mode pemadam kebakaran!
aku memindahkan teflon ke lantai basah, cesss.. suara mendesis terdengar sementara apinya masih menyala, menari-nari gitu hahaha aku baru tau kalo ada api bisa joget-joget ya waktu itu. aku bergegas keluar, mencari tanah gembur, mengambil seperlunya lalu..

BUFF!! kulempar begitu saja kearah si teflon, dua kali.. sejenak apinya membesar, lalu padam sama sekali.. 

huff legaaaa.. kejadian tadi kalo disiarkan secara live mungkin berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh detik aja, tapi tegangnya ampun-ampun! kebayang kan kalo sampe kena rumah.. mana di sebelah ada ayam sekandang lagi lalala kita bisa dapat ayam bakar gratis, cuma agak gosong aja hahaha..

tapi akhirnya kita tetep sahur, dan nugget tetep kemakan,.

alhamdulillah, anak-anak kami bisa makan (padahal yang njatah paling banyak bapaknya hahahaha)

* * *

tapi nih ya, kalo diinget-inget lagi. waktu ngambil tanah itu, kan aku nyari yang rada gembur tuh. biar cepat ngeruknya. jadi ga mungkin pake tanah jalanan yang keras. maka, tanah gembur itu bisa aku dapatkan dari.

eng ing eng!! DIBAWAH KANDANG AYAM!! hahaha.. surprise, madafaka!! hahaha

jadi sebenarnya, mulai saat itu siapapun yang masak pake teflonnya Yorsi sebenarnya turut menikmati protein dan gizi dari eek ayam yang berjasa memadamkan kebakaran waktu itu.. huahuahuahuaa.. silakan hueekk-hueekk-nya yang sopan ya hwkwkwkwkw..

gitu tuh, rasanya jadi ayah,. ada malesnya, ada serunya juga..
intinya sih kalo ga siap menghadapi hal-hal macam itu kusarankan mending gausa nikah aja dulu wakakak gimana nanti mau bertarung sama perampok, macam kisah pak mahrum (mantan tukang kebun SMANSA) yang dilipat, terus diikat, terus diceburin kamar mandi sama rampok hahaha apa nggak malu jadi laki?

kisahku kuakhiri disini.. 

dan jangan heran, meskipun dalam episode kali ini aku jadi seorang ayah, KTP tulisannya masih single kok.. jadi kalo ada yang minat ikut audisi calon mantu ibuku bisa langsung kirim email berisi CV plus TOEFL dan nilai tes baca Al-Qur'an kalian.. buruan ya, bulan depan syaratnya bakal dipersulit loh hahaha serius ini..

selamat beraktivitas, madafaka sekalian!


PS buat Rosy: 
kalo tulisan ini nggak menang, aku mau berenti jadi manajer Side Projects lalu bunuh diri.. 
kalo pun menang tapi nggak dapat nomer kimcil, aku juga mau berenti jadi manajer Side Projects dan mungkin juga bunuh diri hahahaha

(Maulana Firdaus - August 2013)

Friday 9 August 2013

Zembleho

Sunday 17 March 2013

Cara Pemesanan

Cara Pemesanan:
  • Kirimkan SMS ke 087-739-676161,sebutkan jumlah pesanan, NAMA, dan ALAMAT. 
  • Kami akan reply sms berisikan total harga buku+ongkos kirim (kami menggunakan paket reguler TIKI / JNE). Umumnya, 1 kilogram bisa untuk 4 buku, pemesanan 1 buku tetap dianggap 1 Kg (dibulatkan pihak TIKI / JNE). Untuk memudahkan perhitungan, maka kami selalu memakai patokan 4 buku = 1 kg. Agar ongkirnya efisien, kami selalu menyarankan pesan dengan kelipatan 4 buku.
  • Biaya ongkos kirim termasuk biaya packing, biaya transport lokal, dll. Jika ada perbedaan ongkos kirim di resi dengan perhitungan kami, itu karena TIKI / JNE memberikan fasilitas diskon yang menjadi benefit toko. Ongkos kirim dan lamanya pengiriman detail bisa di cek di www.jne.co.id (JNE) atau www.tiki-online.com (TIKI)
  • Setelah menerima sms konfirmasi, Pemesan melakukan transfer sesuai jumlah sms yg kami kirimkan ke Bank BNI 0174504850 a.n. Rosy Edy Tamala (bisa lewat ATM Bersama). Kirimkan sms pemberitahuan kalau sudah melakukan transfer--tidak perlu bukti apapun, kami bisa cek transferannya lewat e-banking.
  • Kemudian buku akan kami paketkan setiap Senin & Kamis (2x seminggu), agar kami sempat memastikan stok tersedia dari penerbit. Dalam kasus tertentu yang jarang terjadi, buku sedang cetak ulang, bisa menunggu 5-7 hari tambahan. Waktu pengiriman paket untuk kota-kota besar pulau Jawa biasanya hanya 1-2 hari. Sumatera, Kalimantan, dll 3-4 hari kerja. Silahkan cek website kurir untuk detail berapa lama waktu pengiriman.
  • Pastikan alamat kirim yang di sms sudah lengkap, nomor HP yg digunakan selalu aktif, agar kurir tidak bingung. Khusus utk alamat2 di pedesaan, kami menyarankan menggunakan alamat saudara/teman di kota terdekat, agar tdk ada masalah jika ternyata di luar batas antar, atau nanti terpaksa mengambil sendiri paketnya ke agen tiki terdekat. Kami menjamin setiap paket aman, hanya saja, karena melibatkan kurir, harap bersabar.
  • Semua pesanan otomatis di tandatangani penulis (hanya tandatangan; tidak bisa direquest hal lain), jika pemesan menginginkan buku tetap di wrapping plastik, tanpa tanda tangan, harap disebutkan di sms pesanan.
  • Karena nomor HP di blog ini sering menerima dan mengirim SMS maka ada kemungkinan ada SMS yg eror, tidak terkirim. Jika tidak ada reply dalam 12 jam, harap SMS ulang. Pastikan nomor yang dimasukkan tidak keliru.
  • Selamat berbelanja :)

Saturday 16 March 2013


TRAUMA 2


Pendiam dan keras kepala, itulah aku. Sifat ini belakangan kuketahui setelah aku punya sebuah gitar, pemberian dari pemuda yang malang itu. Seperti pada kesempatan ini, Ayah berceramah lagi.

“Anak Haji Ramli, begitu pulang dari Mesir, dia hafal Al-Qur’an! Dia menjadi seorang ustad yang akan berguna bagi semua orang. Hebat kan?”

Adikku yang sedang makan dengan lahapnya, menjawab dengan mengangguk-angguk. Adikku yang nakal, rajin makan, ternyata ia adalah anak yang penurut. Mengapa bisa begitu? Barangkali adikku terpengaruh hasutan ayahku. Kata ayahku, di pondok pesantren nanti, lauknya enak-enak: seperti daging. Mendengar itu, berbinarlah mata adikku. Tapi aku kenal betul bagaimana ayahku. Beliau akan melakukan segala cara agar anak-anaknya mengikuti apa yang dimintanya. Seperti janji-janji buah semangka dulu, aku sakit hati dibuatnya. Aku lebih baik diam. Lebih baik begitu.

Kembali membincangkan gitar. Sebenarnya aku bisa menggunakan gitar itu tak lepas dari perjuangan berhari-hari mendandaninya. Keadaan gitar sebelum kudandani sebetulnya sulit kulukiskan dengan kata-kata. Kejadian yang lalu saat pemuda menyeruduk tembok rumah warga, berhasil didramatisir oleh warga. Konon saking hebatnya insiden itu, jari kelingking pemuda itu nyaris lepas. Bahkan ada pula yang berkisah, konon jenggot pemuda itu sampai tertinggal di tembok rumah warga lantaran betapa dahsyatnya benturan itu. Manusia saja bisa begitu keadaannya, apalagi sebuah gitar yang terbuat dari kayu.

Setelah mendengarkan pengakuan warga tentang menyedihkannya kondisi pemuda yang dilarikan ke puskesmas itu, sebenarnya jika gitar ini adalah makhluk hidup, gitar inilah yang lebih menderita. Jika gitar tersebut ibarat manusia, kuping manusia itu telah lenyap karena pasak stem gitar itu telah copot. Perutnya telah robek karena tabung resonansinya tak keruan bentuknya: tripleks yang merekatkan antara body gitar bagian depan dan belakang telah terombak. Sedangkan body depannya, di bagian tengah, bekas patahannya telah hilang. Akibatnya jika mengencangkan senar dengan memutar-mutar pasak stem terus-menerus, lama-lama gitar itu akan membentuk huruf "L".

Berhari-hari aku mencari bantuan kepada tukang-tukang kayu sahabat ayahku untuk memperbaikinya, semakin pula aku nyaris putus asa lantaran tak satu pun mereka ada yang menyanggupi. Katanya kondisi gitar itu terlampau parah, bahkan dewa gitar pun tak sanggup melakukannya. Tapi bagaimanapun keadaannya, aku percaya bahwa gitar ini adalah bentuk pencapaian mimpi-mimpiku yang telah dikabulkan oleh Tuhan. Aku tak boleh menyerah begitu saja. Nikmat Tuhan yang mana lagi untuk didustakan?

Tiga buah lem perekat murahan yang telah tandas adalah bentuk upaya kepedulianku terhadap gitar itu. Semua bagian yang terombak dan patah telah dilumuri secara adil sama rata dengan lem itu. Sekarang bagian tersulit adalah bagaimana cara mengakali agar saat mengencangkan senar nanti, gitar itu tidak melengkung membentuk huruf "L". Tak ada tripleks, papan-papan berukuran kecil pun kurekatkan di kedua ujung badan gitar yang terpisah. Sebab rongga pada tabung gitar itu semakin banyak karena papan-papan yang kurekatkan lebih kecil ukurannya ketimbang serpihan badan gitar yang hilang, serta tegangan senar yang dipasang kendor, akibatnya kualitas bunyi yang dihasilkan jauh sekali dari yang kuharapkan. Meski demikian, aku bahagia. Sebelum tidur, aku pamit dulu padanya dengan mengelus-elusnya. Bangun tidur nanti, gitar itu akan tersenyum sambari tersandar di sudut sana lalu berkata, "Selamat pagi, Tuan!"

Beberapa bulan kemudian, kami semua lulus dari sekolah itu. Teman-temanku semuanya mendaftar ke SMP setempat. Sementara aku, sepekan sudah terbujur kaku seperti mayat hidup. Penyakit aneh telah mengambil alih hidupku. Seperti yang kawan ketahui bahwa aku membenci segala yang berbau dengan rumah sakit. Aku yang sedang sakit, kemungkinan jika ayahku tahu, kisah lama akan terulang kembali. Padahal aku berharap semoga saja itu terakhir kali aku berurusan dengan yang namanya rumah sa-kit. Namun pengalaman 6 tahun silam rasa-rasanya datang kembali. Memang di desa tak ada rumah sakit. Tapi tak jauh dari rumahku, terdapat puskesmas. Bagi orang desa, puskesmas adalah rumah sakit.

Awalnya penyakit itu biasa-biasa saja dan tidak terlalu buas. Aku sering mengidap pusing-pusing ringan menjelang siang dan pulih kembali esok pagi. Begitu terus menerus sampai aku bingung dengan keadaanku yang demikian aneh itu. Penyakit ini sudah berlangsung beberapa hari namun kurahasiakan pada Ayah dan Ibu dengan pura-pura tegar di hadapan mereka.

Penyakit itu lama-kelamaan menampakkan maksud yang sebenarnya. Pulang dari sekolah, selepas mengambil ijazah, tiba-tiba kepalaku serasa ditumpuki beban berton-ton disertai pandangan yang bergetar-getar seperti sedang menyaksikan televisi hitam putih yang tak menangkap siaran. Kususuri sungai sambil sesekali membasuh wajahku agar merasa segar. Ganjil sekali rasanya, biasanya aku melewati jalan raya meskipun terik matahari membakar tengkuk, namun penyakit ini tak bisa diajak kompromi. Bisa jadi karena panas, aku akan pingsan di tengah jalan. Kisah kuburan meledak yang dulu sempat membuat pelayat kocar-kacir, terbuang jauh-jauh dari ingatanku, dan sebentar lagi kuburan itu akan kulewati. Kuburan itu adalah jalan pintas menuju rumahku jika ingin terbebas dari sengatan matahari.

Sampai rumah, aku langsung tergeletak di teras dengan seragam sekolah dan tas punggung masih melekat di badanku. Seluruh bagian tubuhku rasanya sudah hilang, rasanya hanya ada kepalaku yang tersisa karena penyakit itu bersarang di sana. Berkali-kali Ibu membangunkanku untuk makan siang, aku mendengarnya, namun aku hanya mengangguk-angguk. Mendengar nada Ibu yang semakin serius karena merasa asing melihatku tergeletak di teras, aku mengumpulkan sisa-sisa tenagaku untuk bangkit agar aku terlihat tegar. Begitu bangkit, entah dari mana datangnya batu-batu serasa berdesak-desakan di dalam kepalaku, berat sekali. Perutku mual, muntah di teras, aku kembali layu.

Sejak itu penyakitku mendapat penanganan yang serius dari ayahku. “Dasar keras kepala!” katanya. Mendengarnya mendampratku demikian, aku menguatkan diri untuk bangkit. “Aku tidak apa-apa!” jawabku. Namun pembelaanku sia-sia. Aku diseretnya ke rumah seorang mantri suntik. Tamatlah aku.

Bukankah ayahku pernah bilang, mantri suntik itu buruk reputasinya ketika ia kuliah dulu? Bertahun-tahun kuliahnya karena ia bodoh. Lega rasanya karena tak dibawa ke puskesmas, kini aku tegang kalau-kalau mantri itu salah sangka terhadap penyakitku. Mantri itu sebenarnya berteman baik dengan ayahku. Sering ia ke rumahku, sering aku menguping perbincangannya. Misalnya salah satunya begini.

“Ini sedikit kisah konyol!” katanya dengan mata berbinar-binar. Ia berkisah bahwa tempo hari seorang petani mengetuk pintu rumahnya sambil menggigil kedinginan di dalam sarungnya. Si petani mengadu bahwa gara-gara penyakit yang dideritanya, membuatnya absen menggarap sawahnya selama dua hari.

“Pak, sudah tiga hari ini saya panas dingin!”

Ia minta disuntik karena konon jika disuntik mantri itu, ia cepat sembuh. Ia seorang pelanggan tetap di sana. Inilah paham yang dianut oleh sebagian warga di desa itu. Jika merasa cocok dengan mantri suntik yang satu, sampai sepuh pun ia akan mengabdi kepada mantri suntik itu. Padahal obat mantri suntik di mana-mana selalu sama. Jika  sakit kepala, tak mungkin akan diberikan obat sakit hati atau obat sakit jiwa.

“Aduh! Kebetulan cairan suntikannya sudah habis, Pak! Bagaimana kalau saya berikan obat saja?” tawarannya serius.


“Saya pasti langsung sembuh jika bapak yang menyuntik saya!”

Karena sugesti si petani yang begitu kuat, si mantri pun mengisi suntikannya dengan air mineral tanpa sepengetahuan si petani. Tentu ketika melihat alat suntik itu sudah berisi cairan, mata si petani berkaca-kaca lantaran bahagia.

Seeeerrrr.... Air mineral itu dibelesakkan ke dalam bokongnya.

“Tak usah dibayar!”

“Terima kasih, Pak!”

Keesokan harinya, keduanya bertemu di jalan raya. Sambil berlari mengusung cangkulnya, si petani berseru, “Pak! Saya sudah sembuh! Terima kasih!”

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini adalah: pertama, suatu penyakit akan sembuh jika kita memiliki sugesti yang kuat untuk sembuh. Kedua, jika berbakat jadi tabib, jangan sampai jadi mantri suntik! Itu sebabnya banyak kasus dokter salah mendiagnosa suatu penyakit yang diderita orang.

Aku pasrah. Wajahku mendadak pias setelah mendengarkan pengakuan mantri suntik bahwa aku terkena penyakit malaria. Kali ini aku rela disuntik asal jangan sampai masuk ke rumah sakit untuk kedua kalinya. Seerrr! Cairan suntik itu melesat seketika. Aku berkeringat dingin.

“Istirahatlah agar seminggu ini bisa sembuh! Minggu depan kita berangkat ke Narmada, mendaftar di pesan-tren!”

Kuserahkan semuanya berjalan atas kehendak Tuhan saja walau sebenarnya jauh di dalam hatiku, aku ingin sakit berlama-lama agar aku didaftarkan di SMP terdekat. Perkembangan kesehatanku beberapa hari ke depan adalah penentu apakah aku akan menjadi seorang murid SMP atau menjadi santri di Pondok Pesantren. Aku tidak ingin berpisah lagi dengan teman-teman yang aku cintai, juga dengan gitar pertamaku itu. Hidup memang penuh dengan sesuatu yang kita cintai, namun sesuatu yang kita cintai itu malah menjauhi kita. Sesungguhnya di sanalah letak ujian Tuhan yang paling berat.

Ajaibnya waktu, keadaanku semakin membaik walaupun sebetulnya aku masih merasa sakit. Ajaibnya waktu juga, mengapa ia selalu tak memihak di saat aku akan berpisah dengan teman-teman yang aku sayangi? Seperti dulu, sekarang pun berlaku. Akses menuju rumah teman-temanku sangat sulit. Mustahil bertemu mereka di saat-saat tak terduga seperti ini. Aku akan meninggalkan mereka karena sebentar lagi aku akan menjadi santri di pondok pesantren. Aku menitip kata-kata rindu untuk mereka melalui adikku. Ajaibnya juga, ayahku selalu punya partner dalam berbuat kriminal. Keadaanku yang masih belum sehat jiwa dan raga itu, perlulah Pak Muntaha ambil bagian dalam kasus ini. Ia menaikkanku ke sadel motor dan memelukku erat-erat di belakang. Sementara ayahku menancapkan gas sepeda motor itu tanpa sedikit pun belas kasihan kepadaku. Sepeda motor itu meraung-raung tak peduli. Sejak itu aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabar teman-temanku selama 6 tahun ke depan.[]